CASE REPORT
RSUD MUNTILAN
A. KASUS
Seorang pria (petani) 24th mengeluh susah bernafas. OS merasakan hal ini sejak 6 bulan yang lalu. Dia juga mengeluh batuk produktif, nyeri perut, nafsu makan berkurang sejak kemarin dan OS memiliki riwayat penyakit asma. Saat OS masuk UGD RSUD Muntilan,ia dalam keadaan CM, BP: 120/60 mmHg, HR:145/min, RR:30-32/min, t:36oC. Dokter mendiagnosis OS sebagai kasus asma bronkial dan memberikan terapi obat sbb:
D5% Inf III
Aminophilin Amp VI
Ranitidin Amp IX
Ceftriaxone Inj VI
PCT 3x1tab IX
B. DOKUMENTASI
SYSTEM:
RESPIRATORY: cough, difficult to breath when expiratory period
CARDIOVASCULAR: dizziness
NEUROLOGIC: GCS(Eye,Verbal,Motor)=4,5,6
INTEGUMENTUM: cyanosis
NUTRITION: Well
Perkembangan pasien:
15-03-2010
— BP: 120/60
— HR: 145x/min
— RR: 30-32x/min
— T: 36OC
— Sputum (+)
17-03-2010
— BP: 112/67
— HR: 60x/min
— RR: 20x/min
18-03-2010
— BP: 120/75
— HR: 50x/min
— RR: 24-26x/min
— Sputum (-)
C. MASALAH YANG DIKAJI
Apakah terapi antibiotika mempunyai efek yang menguntungkan terhadap pasien asma bronkial?
D. ANALISIS
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan seperti mengi dan sesak nafas. Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat reversibel namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan relatif non-reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit.
Dalam kasus ini gejala-gjala asma yang dapat ditemukan seperti wheezing pada auskultasi (+), batuk produktif terutama malam hari dan yang paling menonjol adalah keluhan sesak nafas.
Manajemen asma sendiri tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Adapun tujuan treatment dari terapi tersebut adalah untuk menyebuhkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah kekambuhan, mnegupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mmpertahankannya, mengupayakan aktivitas harian termasuk exercise pada taraf normal, menghindari efek samping obat asma dan mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.
Secara umum obat-obat yang digunakan dalam terapi asma adalah:
1. Bronkodilator
a. Agonis β2
Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi dan dapat diklasifikasikan menjadi SABA(short acting β2 agonist) dan LABA(long acting β2 agonist). Adapun contoh dari SABA adalah terbutalin, salbutamol, feneterol yang memiliki aksi 4-6jam. Contoh LABA antara lain: salmeterol, formoterol, bambuterol serta memiliki lama kerja 12jam.
b. Meilxantin
Theophilyne merupakan salah satu contoh dari golongan ini. Konsentrasi obat ini dalam serum mempengaruhi efek bronkodilatornya dan efek samping obat ini dapat dipantau dari kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.
c. Antikolinegik
Efek kerja obat ini adalah menurunkan tonus vagus intrinsik dari saluran nafas.
2. Anti-inflamasi
Obat golongan ini berfungsi untuk menghambat inflamasi jalan nafas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis.
a. Kortikosteroid
b. Natrium kromolin(sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi non-steroid.
Terapi yang diberikan oleh dokter yang merawat OS beberapa adalah obat yang bersifat simtomatik seperti parasetamol sebagai analgetik untuk mengatasi nyeri kepala yang dialami oleh pasien dengan cara menghambat aktivitas prostaglandin melalui penyekatan enzim siklooksigenase. Ranitidin digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri epigastrik dengan menghambat sekresi asam lambung melalui blockade reseptor H-2. Pasien juga diberikan infuse dextrose5% untuk koreksi balance cairan tubuh pasien. Sedangkan obat yang digunakan untuk mengatasi keluhan asma, dokter menggunakan obat aminofilin yang termasuk golongan metilxantin dan mampu melebarkan saluran nafas akibat proses inflamasi melalui efek spasmolitik otot polos terutama otot polos bronkus.
Antibiotika yang digunakan dalam terapi ini adalah ceftriaxone. Ceftriaxone termasuk dalam golongan sefalosporin generasi ke-3. Antibiotik golongan ini memiliki aktivitas yang lebih kuat untuk bakteri gram negatif dan resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat.
Penggunaan antibiotika pada kasus asma bronkial memang tidak lazim. Hal ini disebabkan karena masalah utama pada kasus asma adalah proses inflamasi akibat alergi bukan akibat dari infeksi. Namun ada beberapa alasan mengapa dokter memberikan terapi antibiotika pada pasien seperti kemungkinan adanya infeksi nosokomial yang terjadi di bangsal perawatan atau seperti pada kasus PPOK pada fase eksaserbasi akut dimungkinkan adanya infeksi Chlamydophila pneumoniae atau Mycoplasma pneumoniae. Oleh sebab itu, penggunaan antibiotika dibutuhkan dalam kasus ini.
Namun pendapat ini tidak didukung oleh penelitian RCT-double blind yang dilakukan oleh Sebastian L. Johnston, M.D., Ph.D., Francesco Blasi, M.D., Peter N. Black, M.B., Ch.B.,et al (TELICAST Investigators) di Massasuchets Medical Center dan diikuti oleh 278 pasien yang didiagnosis asma (140 pasien diberi Telitromisin dan sisanya diberi plasebo selama 10hari). Hasilnya pun tidak menunjukkan adanya efek terapi yang signifikan antara status bakteriologik dan respon terhadap terapi asma walaupun 61% pasien terinfeksi C.Pneumonia dan M.Pneumonia.
Jadi dari telaah jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotika pada pasien asma seharusnya tidak diterapkan. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti-bukti maupun jurnal-jurnal EBM yang mendukung.
E. DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer,Arief, et al.(2001).Kapita Selekta Kedokteran(edisi ke-3). Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Sebastian, L.J, Fransesco, B., Peter, N.B., Richard, J.M., David,J.F., et al. (2006). The Effect of Telitromychin in Acute Exacerbations of Asthma. New England J Med 354(15): 1589-1600
Tan, H., Kirana, R.(2005). OBAT-OBAT PENTING: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar