Senin, 29 Maret 2010

Case Report

CASE REPORT
RSUD M
UNTILAN

A. KASUS

Seorang pria (petani) 24th mengeluh susah bernafas. OS merasakan hal ini sejak 6 bulan yang lalu. Dia juga mengeluh batuk produktif, nyeri perut, nafsu makan berkurang sejak kemarin dan OS memiliki riwayat penyakit asma. Saat OS masuk UGD RSUD Muntilan,ia dalam keadaan CM, BP: 120/60 mmHg, HR:145/min, RR:30-32/min, t:36oC. Dokter mendiagnosis OS sebagai kasus asma bronkial dan memberikan terapi obat sbb:

D5% Inf III

Aminophilin Amp VI

Ranitidin Amp IX

Ceftriaxone Inj VI

PCT 3x1tab IX

B. DOKUMENTASI

SYSTEM:

RESPIRATORY: cough, difficult to breath when expiratory period

CARDIOVASCULAR: dizziness

NEUROLOGIC: GCS(Eye,Verbal,Motor)=4,5,6

INTEGUMENTUM: cyanosis

NUTRITION: Well

Perkembangan pasien:


15-03-2010

BP: 120/60

HR: 145x/min

RR: 30-32x/min

T: 36OC

Sputum (+)

17-03-2010

BP: 112/67

HR: 60x/min

RR: 20x/min

18-03-2010

BP: 120/75

HR: 50x/min

RR: 24-26x/min


Sputum (-)

C. MASALAH YANG DIKAJI

Apakah terapi antibiotika mempunyai efek yang menguntungkan terhadap pasien asma bronkial?

D. ANALISIS

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan seperti mengi dan sesak nafas. Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat reversibel namun dapat menjadi kurang reversibel bahkan relatif non-reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit.

Dalam kasus ini gejala-gjala asma yang dapat ditemukan seperti wheezing pada auskultasi (+), batuk produktif terutama malam hari dan yang paling menonjol adalah keluhan sesak nafas.

Manajemen asma sendiri tergantung pada tingkat keparahan penyakitnya. Adapun tujuan treatment dari terapi tersebut adalah untuk menyebuhkan dan mengendalikan gejala asma, mencegah kekambuhan, mnegupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mmpertahankannya, mengupayakan aktivitas harian termasuk exercise pada taraf normal, menghindari efek samping obat asma dan mencegah obstruksi jalan nafas yang ireversibel.

Secara umum obat-obat yang digunakan dalam terapi asma adalah:

1. Bronkodilator

a. Agonis β2

Obat ini mempunyai efek bronkodilatasi dan dapat diklasifikasikan menjadi SABA(short acting β2 agonist) dan LABA(long acting β2 agonist). Adapun contoh dari SABA adalah terbutalin, salbutamol, feneterol yang memiliki aksi 4-6jam. Contoh LABA antara lain: salmeterol, formoterol, bambuterol serta memiliki lama kerja 12jam.

b. Meilxantin

Theophilyne merupakan salah satu contoh dari golongan ini. Konsentrasi obat ini dalam serum mempengaruhi efek bronkodilatornya dan efek samping obat ini dapat dipantau dari kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.

c. Antikolinegik

Efek kerja obat ini adalah menurunkan tonus vagus intrinsik dari saluran nafas.

2. Anti-inflamasi

Obat golongan ini berfungsi untuk menghambat inflamasi jalan nafas dan mempunyai efek supresi dan profilaksis.

a. Kortikosteroid

b. Natrium kromolin(sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi non-steroid.

Terapi yang diberikan oleh dokter yang merawat OS beberapa adalah obat yang bersifat simtomatik seperti parasetamol sebagai analgetik untuk mengatasi nyeri kepala yang dialami oleh pasien dengan cara menghambat aktivitas prostaglandin melalui penyekatan enzim siklooksigenase. Ranitidin digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri epigastrik dengan menghambat sekresi asam lambung melalui blockade reseptor H-2. Pasien juga diberikan infuse dextrose5% untuk koreksi balance cairan tubuh pasien. Sedangkan obat yang digunakan untuk mengatasi keluhan asma, dokter menggunakan obat aminofilin yang termasuk golongan metilxantin dan mampu melebarkan saluran nafas akibat proses inflamasi melalui efek spasmolitik otot polos terutama otot polos bronkus.

Antibiotika yang digunakan dalam terapi ini adalah ceftriaxone. Ceftriaxone termasuk dalam golongan sefalosporin generasi ke-3. Antibiotik golongan ini memiliki aktivitas yang lebih kuat untuk bakteri gram negatif dan resistensinya terhadap laktamase juga lebih kuat.

Penggunaan antibiotika pada kasus asma bronkial memang tidak lazim. Hal ini disebabkan karena masalah utama pada kasus asma adalah proses inflamasi akibat alergi bukan akibat dari infeksi. Namun ada beberapa alasan mengapa dokter memberikan terapi antibiotika pada pasien seperti kemungkinan adanya infeksi nosokomial yang terjadi di bangsal perawatan atau seperti pada kasus PPOK pada fase eksaserbasi akut dimungkinkan adanya infeksi Chlamydophila pneumoniae atau Mycoplasma pneumoniae. Oleh sebab itu, penggunaan antibiotika dibutuhkan dalam kasus ini.

Namun pendapat ini tidak didukung oleh penelitian RCT-double blind yang dilakukan oleh Sebastian L. Johnston, M.D., Ph.D., Francesco Blasi, M.D., Peter N. Black, M.B., Ch.B.,et al (TELICAST Investigators) di Massasuchets Medical Center dan diikuti oleh 278 pasien yang didiagnosis asma (140 pasien diberi Telitromisin dan sisanya diberi plasebo selama 10hari). Hasilnya pun tidak menunjukkan adanya efek terapi yang signifikan antara status bakteriologik dan respon terhadap terapi asma walaupun 61% pasien terinfeksi C.Pneumonia dan M.Pneumonia.

Jadi dari telaah jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotika pada pasien asma seharusnya tidak diterapkan. Hal ini dikarenakan tidak ada bukti-bukti maupun jurnal-jurnal EBM yang mendukung.

E. DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer,Arief, et al.(2001).Kapita Selekta Kedokteran(edisi ke-3). Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Sebastian, L.J, Fransesco, B., Peter, N.B., Richard, J.M., David,J.F., et al. (2006). The Effect of Telitromychin in Acute Exacerbations of Asthma. New England J Med 354(15): 1589-1600

Tan, H., Kirana, R.(2005). OBAT-OBAT PENTING: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Jumat, 26 Februari 2010

Tentang prosedur Batista

Prosedur Operasi Batista merupakan percobaan operasi jantung terbuka yang telah dipelajari untuk membalikkan efek dari kasus renovasi dalam tahap akhir kardiomiopati yang membesar. Dalam kasus ini, pasien menderita pembesaran ventrikel kiri yang tidak bisa memompa darah secara efisien.

Meskipun prosedur Batista pada awalnya tampak menjanjikan, belakangan ditemukan memiliki sedikit keuntungan dan risiko yang cukup besar.
Saat ini, prosedur operasi Batista bukan perawatan yang disarankan untuk cardiomyopathy yang membesar. Dalam bentuk kardiomiopati, jantung gagal untuk merespon terapi konvensional, dan pasien menderita gagal jantung berat. Namun, sementara operasi umumnya jatuh dari bantuan, beberapa kelompok penelitian masih memeriksa prosedur di antara pasien Batista yang cocok untuk transplantasi jantung, seperti orang tua.

Kardiomiopati

Selama prosedur operasi Batista, sebagian kecil yang diperbesar ruang kiri bawah (ventrikel) jantung dibuang (atau dihilangkan), sehingga ukuran ventrikel kiri kembali ke arah normal.
Sementara pasien berada di bawah anestesi umum dan terhubung ke mesin jantung-paru, ahli bedah akan mencari anterior kiri arteri koroner menurun dan membuat dua luka kecil ke bawah dan ke luar untuk mengecilkan (dan akhirnya dibuang) seiris ventrikel kiri. Ini kira-kira mirip dengan cara seseorang akan memotong sepotong kue.Tepi yang tersisa ventrikel kiri itu kemudian dijahit bersama-sama, ruangan kembali ke ukuran normal. Sayatan ditutup, dan operasi selesai.

Variasi dari operasi Batista, yang disebut prosedur Dor, membuat insisi memanjang di ventrikel kiri di sepanjang daerah yang mengalami kerusakan oleh serangan jantung di mana ada suatu aneurisma yang terbentuk.
Aneurismanya dijahit, sehingga mengurangi ukuran ventrikel. Jika bagian yang rusak itu terlalu besar, ada tambalan digunakan untuk menutupi bagian yang rusak. Adanya variasi ini ditemukan oleh Dr Vincent Dor dari Monako dan terus digunakan untuk melihat kemungkinan selanjutnya.

Prosedur yang Batista membawa sejumlah risiko.
Sebagai contoh, jika prosedur tidak berhasil, pasien mungkin perlu menjalani pembedahan darurat dan harus segera memiliki jantung mekanis implant (jantung buatan yang diimplan). Selain itu, operasi ini berkaitan dengan risiko tinggi aritmia jantung, yang kadang-kadang diperlukan implantasi cardioverter defibrillator yang mudah diimplan pada saat yang sama dilakukan operasi. Akhirnya, banyak orang yang mengalami prosedur yang Batista menderita gagal jantung berulang setelah operasi. Ada juga sejumlah risiko yang berkaitan dengan semua jenis operasi jantung terbuka.

Sejarah prosedur operasi Batista

Pengobatan standar untuk pasien dengan tahap akhir gagal jantung adalah untuk minum obat dan menunggu jantung donor.
Namun, ada saja kekurangan donor jantung. Dr Randas Batista melihat efek dari kekurangan ini pertama kalinya di negara asalnya (Brasil), banyak pasien gagal jantung menjadi sekarat sebelum donor jantung dapat ditemukan. Ia terinspirasi oleh pengalaman ini untuk mengembangkan prosedur Batista sebagai alternatif untuk transplantasi jantung. Dia melakukan operasi baru ini untuk pertama kalinya pada tahun 1983 dan setelah itu dilakukan ratusan kali.

Inovasi Dr Batista ini akhirnya menarik perhatian para dokter di Klinik Cleveland, yang akhirnya mengirim kelompok ke Brazil untuk mempelajari teknik tersebut.
Menurut informasi yang disajikan oleh Cleveland Clinic di konferensi tahun 1997 American College of Cardiology, tingkat ketahanan hidup orang yang di operasi Batista adalah selama enam bulan (hampir sama tapi lebih lama) yang ditindak lanjuti dengan dengan operasi transplantasi jantung lainnya, dan sejumlah besar pasien tidak perlu lagi berada di daftar untuk jantung donor.

Namun, kemudian hasilnya tidak menjanjikan.
Peneliti dari Klinik Cleveland melaporkan hasil yang mengecewakan dengan prosedur Batista pada tahun 2000. Meskipun kondisi 25 persen dari pasien membaik setelah operasi, ada juga kondisinya tiba-tiba cepat memburuk pada 33% persen mengalami Takikardia (adalah detak jantung yang sangat cepat (lebih dari 100 denyut per menit)). Sisanya pasien mengalami peningkatan sementara fungsi jantung diikuti dengan penurunan secara bertahap fungsi jantungnya. Para pasien juga mengalami peningkatan tinggi irama jantung yang abnormal, atau aritmia. Karena temuan ini, peneliti menghentikan studi klinis.

Pada waktu yang hampir bersamaan, sebuah prosedur Batista studi yang dilakukan oleh New England Medical Center juga menyimpulkan hasil awal yang buruk.
Peneliti, bagaimanapun juga, jasa Dr Batista menginspirasikan penyelidikan strategi lain untuk menyerah (angkat tangan untuk operasi ini) atau mengoreksi ulang ventrikel kiri dengan kondisi gagal jantung.

Pada studi tahun 2005, memeriksa prosedur Batista di antara orang-orang lanjut usia (berusia di atas 65) dan menemukan bahwa operasi dapat ditoleransi dan dapat diterapkan kepada pasien yang tidak memenuhi syarat untuk transplantasi.
Dalam hal ini, risiko dan manfaat dari prosedur Batista hampir sama untuk orang tua dan muda, tetapi mungkin merupakan perbaikan jangka pendek kepada pasien orang-orang tua yang tidak bisa memiliki transplantasi jantung (atau melakukan), sehingga mengubah risiko / manfaat rasio mendukung prosedur pembedahan.
Namun peneliti lain telah memeriksa efektivitas prosedur Batista dikombinasikan dengan cangkok katup jantung.

Kamis, 11 Februari 2010

Cara Penggunaan Skor Validasi Infeksi Streptokokus Mc Isaac Pada Kasus ISPA

Hasil penelitian Universitas Toronto memaparkan bahwa prevalensi infeksi Streptokokus sebesar 13,8% dengan angka tertinggi pada kelompok umur 3-14 tahun (36,2%) dan 10,7% pada kelompok umur 15-44 tahun, serta hanya 1,3% pada kelompok umur 45 tahun keatas. Pada konferensi konsensus nasional mengenai resistensi antibiotika pada tahun 1997 yang disponsori oleh Health Canada And Canadian Infectious Disease Society menghimbau agar penggunaan antibiotika segera dikurangi atau ditekan hingga sebanyak 25% selama periode 3 tahun kedepan dengan memfokuskan pada kasus infeksi saluran pernafasan.

Skor validasi Streptokokus merupakan suatu penilaian klinis yang dimodifikasi oleh McIsaac pada tahun 1998 di Kanada guna membantu mempermudah para klinisi dalam menentukan perlu atau tidak memberikan antibiotika dan melakukan kultur pada pasien dengan ISPA atau datang dengan keluhan nyeri tenggorokan. Dikarenakan indikasi pemberian antibiotika pada kasus ISPA khususnya faringitis adalah apabila terdapat atau ditemukan infeksi Streptokokus.

Skor validasi Streptokokus, terdiri dari beberapa gejala klinis yang merupakan gejala yang paling sering menyertai infeksi Streptokokus, dan masing-masing gejala tersebut memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang bervariasi dan telah diuji signifikansinya secara statistik. Skor validasi Streptokokus yang dimodifikasi oleh McIsaac meliputi dua tahap dan akan disajikan dalam bentuk Tabel 1 dan Tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 1. Tahap Pertama (Perhitungan) dari Skor Validasi Streptokokus yang Dimodifikasi oleh McIsaac (1998)

Tabel 2. Tahap Kedua (Penilaian) dari Skor Validasi Streptokokus yang Dimodifikasi oleh McIsaac (1998)

Jika skor 0-1 maka pemberian antibiotika tidak diperlukan, dan bila skor 2-3 maka antibiotika hanya diberikan apabila hasil kultur positif. Untuk skor 4-5 diberikan manajemen antibiotika secara empiris tanpa harus menunggu hasil kultur. Pasien dengan skor 0 memiliki kemungkinan infeksi oleh Streptokokus sebesar 2,5%, dan pasien dengan skor 1 memiliki kemungkinan sebesar 5,1%. Sedangkan dengan skor 3 kemungkinannya adalah 27,8%, dan sebesar 52,8% dengan skor 4 yang dimana dari 503 pasien, terdapat 59,2% memiliki skor 0-1, dan hanya sekitar 10,5% dengan skor 4.

Sensitifitas dan spesifisitas dari skor ini pada dua populasi yang berbeda, yaitu community based dan academic centre based menunjukkan hasil yang konstan pada Tabel 3. Pada academic centre, maka sensitifitas dari skor McIsaac secara keseluruhan adalah 83,1% dengan spesifisitas 94,3%. Sedangkan pada community based population skor McIsaac menunjukkan sensitifitas 85% dengan spesifisitas 92,1%.

Tabel 3. Sensitifitas dan Spesifisitas dari Skor McIsaac pada Community Based dan Academic Based (1998)